Rabu, 14 September 2011

Ta’aruf. Kapan Ya Bisa Melakukannya?

ciptabiru - Beberapa minggu ini temenku sedang melakukan proses ta’aruf. Dia dikenalkan seorang akhwat oleh salah seorang temennya. Akhwat itu adalah temen istrinya. Jauh hari, dia memang bilang ingin mencari istri yang sholehah. Karena itu aku usulkan padanya untuk menempuh cara itu. Bukannya sok-sokan niru-niru Ayat-Ayat Cinta. Tapi menurutku, cara itu adalah cara terbaik untuk mendapatkan istri seperti yang diinginkannya.
 Setelah mendapatkan CV si akhwat, dia kirim CV itu padaku. Minta pertimbanganku. Aku bilang tak ada masalah dari CV itu. Insya Allah sesuai dengan yang diinginkannya. “Cerdas, terpelajar, dan punya komitmen pada agama dan keluarga,” kataku mengomentari saat chatt.
 Sabtu kemarin dia akhirnya melakukan langkah lanjutan dengan mendatangi si akhwat. Tentu dengan ditemani temannya dan istri temannya. Malam sebelumnya, dia minta pendapatku, tentang apa saja yang harus dikatakan, apa saja yang harus ditanyakan dan bagaimana harus bertingkah laku di sana.
 ”Katakan padanya ini adalah ikhtiar untuk melaksanakan sunnah rosul. Allah lah yang akan menentukan hasilnya. Jangan lupa untuk berniat melakukan itu semata-mata hanya karena Allah,” kataku.
 Aku juga memintanya menanyakan segala hal yang ingin ditanyakannya pada si akhwat sepanjang itu masih terkait dengan komitmen berkeluarga, berdakwah dan berjihad di jalan Allah serta hal-hal lain yang masih dalam batas kesantunan. “Hal-hal tentang sifat dan perilakunya bisa ditanyakan pada orang-orang terdekatnya. Bisa saudara, atau sahabatnya,” anjurku.
 Kemarin malam, dia melaporkan hasil pertemuan itu padaku. “Aku perlu ngobrol denganmu. Aku butuh nasehatmu,” katanya.
 ”Kenapa emangnya. Bagaimana hasilnya?” jawabku antusias.
 ”Justru itulah. Aku ingin minta pendapatmu,”
 ”Secara umum, dia sempurna. Aku juga cocok dengan komitmennya pada keluarga, agama dan cita-cita bersama. Hanya masih ada satu yang kurang,” bebernya. Aku bertahniah. Memberinya ucapan selamat.
 ”Keraguan itu datangnya dari Syaiton,” kataku. “Hilangkan itu dengan menyerahkan segalanya pada Allah. Memang apa kekurangannya,” ujarku balik bertanya.
 ”Fisiknya tidak seperti yang aku bayangkan,” balasnya.
 ”Kamu ingat kata-kata Biksu Tong dalam serial Kera Sakti. Isi adalah kosong, dan kosong adalah isi,”
 ”Artinya?”
 ”Apa yang kita lihat kadang bukanlah yang sebenarnya. Yang paling penting saat kita mencari istri adalah keimanan dan ketakwaan serta komitmennya pada keluarga. Fisik adalah masalah kesekian,”
 BUZZ
 Tak ada jawaban agak lama. Karena itu aku mengirim bel itu.
 ”Dalam Al Quran surat Annur ayat 26 Allah sudah memberikan jaminan, bahwa laki-laki yang baik akan diberi wanita-wanita yang baik pula. Jadi kalo kita bisa bersikap, bertindak dan berlaku baik, Insya Allah wanita yang baik pulalah yang akan menjadi pasangan kita,”
 Sekarang yang perlu kita lakukan adalah mengintrospeksi diri kita. Apakah sudah baik. Kalau merasa belum, maka jangan terlalu banyak berharap mendapat seseorang yang baik juga.
 Mengenai masalah fisik, Nabi memang pernah mengatakan carilah istri yang bagus agamanya, kalau bisa kaya dan cantik parasnya. Tapi sebaik-baik wanita adalah murah maharnya. Jadi menurutku fisik bukanlah segalanya.
 ”Ya. Aku memang agak picik dalam hal ini,” akunya.
 ”Aku juga masih ragu dengan masalah keuangan. Memang sich, dia mengaku tak masalah tinggal di kontrakan dan siap mengikuti kemanapun suaminya pergi. Tapi aku tetap merasa takut,” sambungnya.
 ”Aku kebetulan kemarin baru saja mendengar tausiah bagus nich,” kataku.
 ”Apa?”
 ”Pas sholat Jumat di Fatimatuzzahro, sang khotib mengatakan, Allah telah memberikan jaminan rejeki pada tiap makhluk yang diciptakannya. “Dan tidak ada satu binatang melatapun dibumi melainkan Allah-lah yang memberikan rejekinya. (QS. Hud: 6) Jadi jangan takut tak punya rejeki. Yang perlu ditakutkan adalah kalau kita tidak punya keimanan dan ketakwaan. Karena Allah tak pernah menjamin adanya dua hal itu (keimanan dan ketakwaan) di setiap makhluknya. Kamu mestinya beruntung dikenalkan dengan seseorang yang sudah jelas-jelas punya kedua hal itu,” kataku sambil menyitir isi khotbah yang dibawakan Ustad Syarif Baasir Jumat (7/11) lalu.”
 ”Jadi sekarang apa yang harus aku lakukan?”
 ”Kembalikan semuanya pada Allah. Karena Dia-lah yang maha mengetahui. Mengetahui apa yang terbaik bagi kamu. Yang terbaik bagi dia (si akhwat) dan yang terbaik bagi kalian. Aku bukannya sok alim, tapi cobalah serahkan semuanya ini pada Allah. Sholatlah Istikharah dengan penuh ketulusan. Insya Allah jawabannya akan segera muncul. Dan bertawakallah untuk semua itu,” jawabku.
 Kami kemudian ngobrol ngalor-ngidul mengenai berbagai hal. Mulai dari eksekusi mati trio bom Bali I, kegiatan fitnes yang sedang sama-sama kami jalani sampai analisis kemenangan Obama. Dia bilang akan segera mengabariku tentang keputusannya. Tanpa sepengetahuannya, aku mendoakan agar dia mendapatkan yang terbaik.
 Setelah itu, aku merenung sendiri. Jalan itu sudah ditapaki temanku. Aku sendiri yang selalu memberinya nasehat tentang bagaimana mendapatkan istri yang sholehah belum berani menapakinya. Aku selalu bilang, aku akan menikah setelah adik-adikku selesai kuliah. Tapi seandainya Allah memberikan istri besok, lusa atau bahkan di hari lain yang aku tak tahu kapan, Insya Allah aku siap. Hanya saja aku memang belum berani berikhtiar mencari.
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Dalam Naungan Cinta-Nya