Senin, 12 September 2011

Aku Berhenti di Sebuah Dermaga Hati

Akhirnya kutemukan juga belahan hati yang akan menemaniku disepanjang sisa umurku. Ya.. Aku pada akhirnya menikah, meskipun kini usiaku telah 37 tahun. Sebuah angka yang cukup dewasa bagi seorang wanita yang baru akan melangkah di sebuah jenjang pernikahan. Aku melangkah seperti tertatih-tatih berharap kuraup setitik buih lautan dari syurga Tuhan semesta alam.

Sebelumnya, sama sekali asa itu tak pernah terselip dalam otakku, aku mengira semuanya sudah mentok. Usiaku sudah tak cocok lagi untuk menikah. Apalagi aku adalah seorang wanita, di usiaku kini tentu adalah usia yang rentan untuk mengandung dan melahirkan. Terutama, akan lebih menyenangkan bila dengan seorang wanita yang lebih masih muda. Toh aku harus bersaing dengan gadis-gadis lain yang lebih muda dariku. dari situlah nyaliku beralun mundur seolah bagai sebuah daun yang mulai kering, jatuh ke bumi lalu dihembus oleh sebuah angin, berterbangan tak tentu arah.

Sebuah layang-layang akan terbang tinggi mengikuti arah angin, ia tak pernah lelah meskipun telah terbang sekian lama. Namun suatu saat ia akan tumbang, karena dikalahkan oleh sebuah layang-layang lainnya. Begitupun dengan diriku. Meski aku telah melanglang buana, pergi dari sebuah perahu layar ke perahu layar lainnya, namun tak pernah kutemui dermaga yang tepat, tempat kutambatkan hatiku padanya. Ah, terlalu banyak kriteria-kriteria yang ada dalam benakku. Padahal kini aku baru menyadari bahwa tak ada seseorangpun di dunia ini yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Sang Illahi semata.

Jika mau dirunut, sebenarnya wajahku terbilang cantik, dengan tinggi 165 cm, berkulit kuning langsat, banyak beberapa teman lelaki yang kagum padaku. Sudah banyak kado-kado yang kuterima dari mereka. Aku tahu maksudanya, mereka ingin menarik hatiku. Bodohnya aku yang saat itu kian hari semakin sombong, aku mulai memilih-milih, mana yang sekiranya cocok denganku. Rupanya pilihanku salah, dia ternyata mendua. Padahal hubungan kami berjalan sudah lima tahun lamanya. Sungguh sia-sia sajalah kukira selama itu aku dengannya. Penyesalan ini membuat aku menjadi trauma jika melihat laki-laki. Pintu hatiku seakan tertutup pada setiap lelaki apapun untuk selama-lamanya.

Untuk sementara waktu Aku berusaha sekuat jiwa untuk melupakan seseorang berjenis lelaki. Entahlah, aku belum bisa memastikan sampai kapan luka ini bisa kulupakan. Aku terbenam dalam lautan kesibukan bekerja. Sampai aku diangkat menjadi vice president di sebuah bank Swasta ternama di Jakarta. Tapi nyatanya, hati kecil tak mampu berbohong. Ia rupanya selalu hadir sesekali dalam benak sanubari ini. Seperti ada yang berbisik padaku "Kapan kau menikah ?" Belum lagi dari pihak keluarga, terutama Ibu. Ibuku lah yang selalu bertanya dan bertanya. Sebuah pertanyaan yang membuat jenuh jika harus menjawab.

Saat itu aku merasa hampa. Aku selau dikejar-kejar oleh pertanyaan-pertanyaan yang datang dari setiap lamunanku. seperti, "Apakah kau tak ingin ada seseorang di sampingmu di kala kau membuka mata saat terbangun dari tidurmu ?" dan "Apakah kau ingin mati tanpa ditemani sesorangpun ?" bulu kudukku merinding, seolah aku ingin pergi dari kenyataan. Tapi aku tak mau disebut sebagai manusia pengecut yang takut menjalani hidup ini, lantas pergi dengan jalan pintas yang sangat bodoh dan mamalukan.

Lalu Aku mulai dekat dengan agama. Seiring waktu, Aku sering menghadiri majelis ta'lim. Setiap akhir ceramahnya, aku selalu berkonsultasi secara pribadi dengan ustadzahnya. Ustadzahnya sangat baik, tutur katanya lembut, sungguh membuat hati menjadi sejuk sesejuk embun pagi yang jatuh dari pucuk daun di pagi hari. Dari sinilah kisahku berlanjut, Sang Ustadzah mengetahui bahwa aku belum menikah, ia mengutarakan akan membantu mencari jodoh untukku. Setelah kami saling diperkenalkan di suatu pertemuan di rumahku, kami sepakat menikah. Sebuah waktu yang tidak ingin diulur-ulur lagi. Bukankah sebuah kebaikan sebaiknya dilakukan dengan sesegera mungkin ?

Kini, aku mulai mampu melihat bintang-bintang di awan dengan penuh cahanya gemerlap saling berkelap-kelip seakan mereka tersenyum padaku. Ah, mengapa tak pernah kukagumi dari dulu cahayanya ? Mengapa baru kali ini setelah aku menikah aku baru bisa memahami semua keindahan Sang Illahi.

---artikel diambil dari sini---
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Dalam Naungan Cinta-Nya